DNA dan Aktivasi Otak Manusia (part 2)

Dalam konteks neurosain sebenarnya konsep “mata ketiga” atau organ sensoris yang mampu mengubah stimulus foton dari cahaya menjadi serangkaian reaksi kimia memang terbukti ada. Kelenjar pineal dan beberapa protein serta hormon yang hanya bisa aktif dalam keadaan gelap tanpa cahaya seperti melatonin memang diregulasi oleh keberadaan cahaya. Bagian-bagian ini berperan penting dalam siklus tidur-bangun, relaksasi, dan kinerja sistem imun. Jika diaktifkan dengan cara seperti yang dijalani oleh Tuesday maka secara hipotetikal tentunya akan terbentuk sirkuit-sirkuit neuronal (sel syaraf) baru seiring dengan terjadinya proses perbaikan sel-sel syaraf serta neuroglia yang sengaja dirusak. Tetapi perlu diingat bahwa setiap perubahan dalam setiap jaringan tubuh manusia akan selalu disertai berbagai penyesuaian sebagai bentuk kompensasi ataupun adaptasi dari penyusun jaringan di sekitarnya. Maka jika aktivasi otak dilakukan dengan mengedepankan salah satu sirkuit dengan fungsi tertentu, hampir dapat dipastikan akan terjadi kompensasi berupa berkurangnya fungsi daerah lain dan juga akan terjadi efek bergulir dimana aktivasi juga akan mengaktifkan beberapa daerah dengan fungsi-fungsi yang mungkin saja kelak tidak akan terkendali. 
Dalam ranah neurosains pula, sebenarnya aktivasi melalui pengondisian lingkungan,dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya manusia atau otaknya cenderung tergiur oleh “hadiah’’,bonus, tambahan pendapatan, “rejeki nomplok” atau kenyamanan yang sesungguhnya tidak rasional. Lihat iklan berupa selebaran di mall-mall yang menjanjikan anda akan mendapat hadiah langsung gratis tanpa embel-embel jika mampir ke tokonya, ternyata hadiah itu diberikan jika kita membeli produk tertentu yang untuk “iming-iming” juga seolah berbonus luar biasa dan telah didiskon habis-habisan. Walhasil kita membawa pulang hadiah sebuah seterika berharga 200 ribu disertai belanjaan kita berupa mesin cuci senilai 5 juta,he3x. Dorongan reward palsu yang kuat untuk mendapatkan kenyamanan semu ini diperankan oleh nukleus akumben yang akan memproduksi dan mengaktivasi dopamin dan neuron-neuron dopamin. Terlalu kuatnya keinginan untuk mendapat hadiah, meski palsu, membuat area korteks prefrontal dan hipokampus gagal membangun sinergi belajar dan pendalaman persepsi. Padahal jika sejenak saja kita merenung dan membiarkan korteks prefrontal dan hipokampus untuk menjalankan sistematika analisa rasional, maka kita akan terselamatkan dari jebakan kepalsuan. Maka jangan terburu-buru dalam mengambil keputusan. Bukankah Allah SWT paling tidak menyukai sifat tergesa-gesa yang kemudian akan diikuti oleh kebodohan akibat melampaui batas kemampuan, dan diakhiri dengan keluh kesah yang berkepanjangan. Memori kesakitan dan kegagalan ini akan terus menstimulasi amigdala untuk memproduksi sifat kufur nikmat. Sifat gemar berjudi ini dijumpai pula pada orang-orang yang mendapatkan terapi pemberian dopamin untuk memperbaiki aktivitas motorik yang terganggu akibat kelainan jaringan syaraf di daerah basal ganglia/striatum (Jonah Lehrer, 2006). Maka terbukti judi yang jelas dilarang dan diharamkan agama adalah sebuah perbuatan sia-sia yang tak akan pernah menguntungkan manusia,bahkan memberikan kerugian sistematik melalui pembiasaan/latihan bagi sisi emosional otak untuk selalu mengambil kendali pembuatan keputusan. Sifat keputusan yang dihasilkan hampir dapat dipastkan pastilah amat dipengaruhi oleh pemenuhan kebutuhan nafsiyah dan dilakukan secara tergesa-gesa dan kurang pertimbangan sehingga hasilnya tentu tidak akan sesuai dengan harapan. Masih pada kasus di level yang sama pada pemain yang mempertaruhkan modal dengan memilih resiko investasi rendah,jika ia mencabut kartu yang benar (berwarna) maka reaksi pertamanya adalah ia bukan bergembira seperti wajarnya seorang pemenang, ia malah menyesal karena tidak memilih resiko investasi tertinggi. Kondisi ini sesuai dengan fenomena “missing error”, alias otak kita justru bukannya mensyukuri rejeki yang telah didapatkan, melainkan menyesali rejeki yang “batal” didapatkan ketika menang. Sederhananya begini: “Wah kalo tau bakal menang saya pasang resiko tinggi biar hadiahnya lipat-lipat !” gitu loh cara mikirnya otak kita. Jadi yang dimiliki tidak disyukuri,yang bukan milik malah disesali. Tidak gembira dengan yang dipunyai,sedih kehilangan yang tidak dipunyai. Bukan milik kok disesali ! Aneh ya kita ini ? Nah fungsi ini diperankan oleh nukleus kaudatus yang juga berperan sebagai stasiun radio kekecewaan. Berita tentang kegagalan meraih impian semu ini segera disebarluaskan (broadcast) ke segenap penjuru otak. Maka kita menjadi impulsif, marah-marah tidak jelas yang sesungguhnya proyeksi dari kemarahan terhadap diri sendiri.
Kecenderungan dan keyakinan tanpa dasar rasional (misal percaya pada batu Ponari) akan menonaktifkan korteks prefrontal,hipokampus, dan girus singulata. Sehingga meski pola-pola tersebut diulang dan sedemikian jelas, semua alasan rasional otak bawah sadar akan kalah (menyerah) kepada alasan emosional yang dimunculkan dari area amigdala (emosi dan memori negatif) yang mendapat asupan ataupun pengondisian melalui budaya dan hirarki sosial (termasuk mitos). Kisah 5 monyet berikut adalah contoh hasil penelitian kongkretnya. Alkisah ada suatu penelitian yang melibatkan obyek penelitian 5 ekor kera di sebuah kandang khusus di kebun binatang. Di tengah-tengah kandang terdapat sebatang pohon palsu yang dilengkapi sensor untuk mengaktifkan sejumlah pompa air. Di atas pohon tersebut digantungkan buah-buahan segar yang teramat menggiurkan bagi kera. Tetapi setiap kali seekor di antara mereka mencoba memanjat (batang pohon ukurannya hanya dapat dipanjat seekor kera saja) di seperempat bagian batang sebelah bawah sensor akan teraktivasi. Selanjutnya pompa air akan menyemprotkan galonan air dingin dari berbagai penjuru, sehingga baik kera yang akan memanjat maupun kawanannya yang ada di bawah akan tersiram sampai basah kuyup. Demikianlah berulang-ulang terjadi sehingga kawanan kera menyadari bahwa pohon godaan itu berbahaya ! Lalu kera pertama diganti seekor kera pendatang baru yang tentu saja tidak tahu menahu tentang bahaya pohon godaan. Segera saja ia mencoba memanjat, tapi serempak kawanan lama beramai-ramai mencegahnya. Kera baru meski tak mengerti pada akhirnya menurut. Kera kedua dan seterusnyapun diganti satu persatu sampai tak ada lagi kera angkatan pertama. Tapi meski semua kera di dalam kandang itu belum pernah tersemprot, tak ada satupun di antara mereka yang berani memanjat pohon godaan. Bahkan ketika kera diganti sampai generasi ketigapun (dengan catatan diganti satu persatu), mereka tetap menjaga “tradisi” turun temurun untuk menjauhi pohon godaan, atau kini sudah menjadi pohon “keramat”.  Padahal pompa-pompa penyemprot semenjak generasi kera pertama diganti sudah tak diaktifkan lagi, bahkan instalasinyapun sudah dilepas. Begitulah kuatnya tradisi, mitos, dan nilai budaya mencengkeram (menjajah) otak manusia. Ada konsekuensi menakutkan yang siap menerkam jika aturan ataupun tata nilai hasil pengalaman dan pengamatan empiris serta konsensus tersebut tidak dijalankan. Memori dan emosi negatif ini dikelola dan dipertahankan oleh amigdala sebagai bagian dari bentuk pertahanan psikologis manusia.
 Sahabat udara saya; Shahnaz Haque dan Gilang Pambudhi dari Delta FM pernah menyitir sebuah kisah hikmah yang relevan sekali dengan sifat manusia yang kita jadikan bahan renungan ini. Alkisah ada seorang pembuat jam Swiss yang terkenal sangat presisi mampu berkomunikasi secara verbal dengan jam yang tengah dibuatnya. Kira-kira dialog itu demikian: “Wahai jam yang budiman, kelak ketika engkau telah selesai dibuat dan berfungsi sebagai jam, sanggupkah kau untuk berdetak sebanyak 31 juta 104 ribu kali dalam setahun ? Jam keder mendengar jumlah angka yang disampaikan sang pembuat jam, iapun menjawab: “maaf Bapak pembuat jam yang budiman, tampaknya aku tidak mampu jika harus berdetak sebanyak itu…” Lalu si pembuat jam mengajukan pertanyaan kedua: “Jika begitu mungkin kau sanggup untuk berdetak sebanyak 2 juta 592 ribu kali dalam sebulan ?” Jam terhenyak, jumlah yang diajukan sang pembuat jam baginya masih sangat besar dan ia berpikir tak mungkin untuk menyanggupinya. “Sekali lagi maaf Bapak budiman, aku masih tak sanggup.” Sang pembuat jam hanya mengangguk dan menatap dengan bijak,”bagaimana jika kau hanya harus berdetak sebanyak 86 ribu 400 kali saja dalam sehari ?” Tanyanya dengan jenaka. Jam bimbang,ia memandangi sekujur tubuhnya yang mungil, ia ragu apakah ia bisa memenuhi permintaan itu.”Maafkan aku untuk kesekian kalinya lagi wahai Bapak budiman, tampaknya sekali lagi aku belum mampu memenuhi permintaanmu….” jam tersipu dan tertunduk malu, tapi apa mau dikata, ia ragu terhadap kemampuan dirinya yang memang berukuran kecil dan mungil itu. Lalu dengan tetap ceria sang pembuat jam kembali menawarkan berapa kali kiranya si jam mungil harus berdetak, “kalau 3600 kali berdetak dalam 1 jam kiranya kau mampu bukan ?” Tanyanya dengan penuh harap. Jam mungil merasa tenggorokannya tercekat, ia sesak, tak mampu lagi ia berkata-kata saking malunya. Sang pembuat jam tak menunggu jawaban dari si jam mungil, ia langsung berseru..”baiklah kalau begitu kau cukup berdetak 1 kali saja dalam 1 detik, bagaimana ?” Tanpa berpikir panjang jam mungil berteriak dengan gembiranya: “AKU MAU..AKU MAU….!!!” Dan semenjak saat itu jam mungil terus berdetak tanpa henti 1 kali setiap detik, 3600 kali setiap jam, 86.400 kali setiap hari, 2.592.000 kali setiap bulan dan 31.104.000 kali pertahun. Dan seperti jam Swiss lainnya, usianya kini sudah lebih dari 10 tahun dan ia terus saja berdetak tanpa jeda dan henti.
Moral dari kisah ini adalah acapkali kita terjebak ke dalam simbol-simbol ketakutan yang irasional, serta hanya mau melihat peluang yang menurut kita sesuai dengan kapasitas yang kita miliki. Jika hal ini yang terjadi sesungguhnya kita tengah memandang rendah diri kita sendiri. Terbukti jam mungil yang merasa dirinya kecil tak kalah hebat ketika sudah mengalami dan menjalani apa yang selama ini ditakuti.
 pola tarik menarik antara dorongan dasar untuk berempati dan bersifat sosial yang diperankan oleh area orbitofrontal dan hipokampus dan nukleus raphe dengan sifat ingin memiliki dan takut kehilangan yang diwakili serta dikelola oleh nukleus akumben, girus singulata, amigdala, dan nukleus kaudatus, serta peran dominan daerah Insula. Semakin rapat korelasi atau hubungan antara “menyumbang”/menyisihkan sebagian penghasilan dengan kenyamanan diri (saat ini) maka akan semakin kuat dorongan untuk menolak atau setidaknya meminimalisir besaran nominal yang akan disisihkan. Sebaliknya dalam konteks yang nyaris serupa, adanya penekanan nilai spiritual yang bersifat transenden dan menjanjikan keselamatan abadi serta “ancaman” yang sangat menakutkan di bawah sadar, membuat orang lebih ikhlas dan rela menyumbang dalam besaran nominal berprosentase relatif lebih besar. Setelah “kewajiban” struktural itu ditunaikan maka beban berupa tekanan rasa bersalah seolah disingkirkan dan kadar neurotransmiter seperti serotonin dan dopamin serta love chemical seperti oksitosin akan meningkat. Peningkatan ketenangan dan cinta akan berdampak pada beralihnya (switching) sirkuit cemas ke sirkuit produktif. Korteks orbitofrontal dan prefrontal akan bersinergi dengan hipokampus dan bagian lain di korteks, striatum, dan diensefalon, serta mesensefalon untuk membangun sinergi kecerdasan. Maka seseorang yang menunaikan ibadah termasuk ibadah berdimensi sosial seperti Zakat Infaq Shodaqoh akan mendapatkan bonus langsung berupa kelembutan hati, kelapangan dada, dan kejernihan pikiran !  Selanjutnya kondisi ini akan menumbuh suburkan gejala adiksi pada tingkat kesadaran tertentu yang memberikan kenyamanan lahir bathin, ketenangan dunia akhirat !      

0 komentar:

Post a Comment