DNA dan Aktivasi Otak Manusia (part 1)

                Jika sebuah gen kera yang dikenal sebagai gen GUSI dapat mempengaruhi kemampuan otaknya dalam mengatasi dorongan agresivitas dan kemarahan yang merusak, lalu bagaimana dengan DNA manusia ? Manakah yang terlebih dahulu berubah, DNA ataukah jaringan otak kita ? Bayi kera yang menjadi agresif dan merusak adalah bayi kera yang kehilangan sosok induknya. Ketiadaan induk kera berkorelasi dengan minimnya sentuhan dan perlindungan yang menenangkan. Tidak adanya interaksi dengan induk atau sumber keamanan dan kehangatan akan menimbulkan gelombang ketakutan dan kecemasan yang diperankan oleh senyawa kimia tubuh yang termasuk dalam kategori hormon. Badai hormon cemas ini ternyata menginaktivasi atau menghambat aktivitas gen GUSI yang bertugas menghasilkan enzim guanilat siklase yang terlibat dalam proses produksi hormon tenang. Maka secara sederhana dapat disimpulkan bahwa DNA anak atau bayi kera ini amat rentan terhadap berbagai faktor lingkungan yang dihadapinya. Kesedihan dan kegelisahan karena kehilangan induk akan memakzulkan kemampuan DNAnya untuk memproduksi hormon yang menghadirkan rasa tenang. Penelitian lanjutan yang juga masih dilakukan terhadap perilaku kera, menunjukkan bahwa tidak hanya bayi kera yang ditinggal mati induknya saja yang akan mengalami badai kecemasan, anak kera yang sudah sedikit lebih dewasa ketika dipisahkan paksa dengan induknya akan memunculkan sikap dan perilaku yang sama. Hasil kajian ilmiah ternyata menunjukkan bahwa gen yang serupa dengan gen GUSI pada kera terdapat pula pada DNA manusia. Dengan demikian kurangnya kasih sayang, belaian, dan hangatnya perlindungan orangtua akan mendorong munculnya sifat agresif dan destruktif, terkait dengan terjadinya hambatan pada aktivitas gen ketenangan dan kasih sayang.
                Maka tak heran apabila mekanisme inisiasi menyusui dini dan terus memberikan air susu ibu (ASI) secara eksklusif akan dapat mendorong teroptimasinya peran-peran gen dalam DNA manusia yang bertanggungjawab untuk menumbuhkan kehangatan dan kasih sayang. Dimana kehangatan dan kasih sayang memiliki sirkuit khusus yang terdiri dari area otak dan sekumpulan sel syaraf yang bekerja dengan panduan neurotransmiter atau hormon otak. Maka peran DNA dalam hal ini adalah menyediakan “resep” dasar bagi proses produksi sekian banyak enzim, hormon, dan senyawa kimia yang bekerja secara sinergis untuk mempengaruhi kinerja sel-sel syaraf. Maka tak heran pula apabila anak-anak yatim piatu dalam Islam dipandang sebagai wasiat yang begitu istimewa. Tak hanya harta dan haknya saja yang mesti dijaga, melainkan pula kebutuhan akan kasih sayangnyapun harus kita sediakan bersama. Bukankah Rasulullah SAW adalah sosok yang amat mencintai anak-anak ? Jika beliau hendak menengok anak dan cucunya sendiri, beliau senantiasa menyempatkan dan meluangkan waktu khusus untuk membelai, memeluk, menggendong, dan mencium anak-anak kecil yang beliau jumpai di keramaian pasar. Bahkan cucu-cucu kesayangan beliau,Hasan dan Husen, kerap bermain “kuda-kudaan” di saat Rasulullah SAW tengah bersujud dalam perannya sebagai imam sholat fardhlu di Masjid Nabawi.
Sejarah hidup Rasulullah SAW yang juga yatim piatu menabalkan hipotesa bahwa sesungguhnya aktivasi DNA untuk merangsang munculnya kasih sayang di jaringan otak juga dapat melalui perantaraan orang-orang di sekitar anak yang ikhlas mencurahkan kasih sayangnya. Keluarga besar Abdul Muthalib kakek Rasulullah dan juga keluarga besar Abu Thalib pamanda Rasulullah, amat sangat menyayangi Muhammad kecil. Demikian pula peran curahan kasih sayang Ibunda persusuan Rasulullah SAW, Bunda Halimah binti Tussadiyah, seolah tak putus-putusnya mengalirkan kesejukan sampai ke relung-relung DNA Rasulullah.
Jika saat ini kita melihat betapa agresif dan destruktifnya sebagian dari anak-anak dan remaja di Indonesia dan juga di berbagai belahan dunia lainnya, maka semestinya kita bertanya, apakah perilaku itu terjadi karena mereka kurang mendapatkan kehangatan dan kasih sayang ? Secara faktual memang dapat dikatakan saat ini banyak terdapat anak-anak yang secara de jure memiliki orangtua yang lengkap, tetapi secara de facto mereka adalah yatim piatu. Mengapa ? Karena intensitas komunikasi dan interaksi antara orangtua dan anak saat ini sedemikian minim serta terdistorsi oleh berbagai tuntutan riil seperti beratnya proses pendidikan yang merupakan konsekuensi dari semakin komptetitifnya dunia kerja. Ukuran-ukuran capaian psikososial serta normapun bergeser menjadi lebih bersifat materialistis. Kasih sayang dan atensi orangtua kini diwujudkan dalam bentuk uang jajan, kendaraan bermotor, biaya sekolah elit yang sangat mahal, dan rumah dengan segala fasilitas mewah di dalamnya. Liburanpun kini bergeser tidak lagi piknik bersama ke gunung dan pantai, melainkan lebih diminati semacam wisata belanja di mall-mall dan di negara-negara surga belanja seperti Hongkong dan Singapura. Padahal silaturahmi dengan alam yang merupakan media belajar terindah yang telah Allah SWT karuniakan sebagai sebuah anugerah sekaligus amanah, adalah proses belajar yang sarat dengan berbagai kelebihan. Menikmati rinai hujan yang menerpa tanah kering di halaman misalnya, selain memberikan sensasi kesejukan, dan meruapnya aroma tanah yang basah, ternyata juga menjadi penghantar bagi serombongan mikroba atau jasad renik bernama Mycobacterium Vaccae untuk terhirup ke dalam paru-paru manusia. Kedatangan mereka di paru-paru manusia adalah sebuah persinggahan untuk selanjutnya melanjutkan proses berkelana di sekujur tubuh manusia melalui serangkaian pembuluh darah. Alkisah sampailah mereka ke jaringan otak manusia. Dan mereka berkelindan dengan reseptor-reseptor molekuler di permukaan sel-sel yang bertugas memproduksi serotonin. Hormon tenang. Reseptor itu membawa pesan transduksi kepada untaian rantai ganda DNA. Dan terjadilah proses transkripsi untuk menyandi serangkaian nukleotida yang jika di”masak” akan menghasilkan serotonin. Maka kehadiran serotonin akan menghasilkan kedamaian dan ketenangan yang menyejukkan pikiran. Maka ketenangan itu akan memfasilitasi otak untuk berpikir jernih serta mampu mengurai dan menganalisa berbagai tantangan kognitif. Dan rinai hujan yang membuncah serta memecah kegersangan hari, juga akan menyuburkan kecerdasan dan kemampuan menyelesaikan permasalahan.
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa ada kebenaran yang tersurat dalam aksioma hubungan korelatif antara lingkungan,perilaku, dan kinerja otak. Data hasil riset di bidang psikologi pendidikan juga menunjukkan hasil serupa. Carla Hannaford seorang guru besar ilmu psikologi perkembangan dan pendidikan dari University California of Los Angeles merilis hasil penelitian yang membuktikan bahwa terdapat hubungan kausatif (sebab-akibat) antara pelatihan motorik berulang dan ritmis dengan kemampuan baca-tulis pada anak usia sekolah. Gerakan ritmik yang dilakukan adalah membuat gerakan imajiner menyerupai angka 8 yang tertidur. Gerakan melingkar tersebut ternyata mengaktivasi daerah ganglia basalis yang berhubungan dengan otak kecil (serebelum) dan area asosiasi di korteks otak, termasuk area baca-tulis. Saat ini metoda aktivasi otak dan DNA melalui berbagai stimulus multisensori mulai pesat sekali berkembang. Senam ergonomik berbasis gerakan sholat diusung Pak Madyo dengan kelompok Tapak Limannya, metoda sholat khusu’ dipopulerkan oleh Ustadz Abu Sangkan, modulasi limbik diperkenalkan oleh Ary Ginanjar Agustian lewat pelatihan ESQ, interferensi positif gelombang otak dilakukan oleh Erbe Sentanu melalui Quantum Ikhlasnya, belakangan musisi Didi AGP juga memperkenalkan pajanan musik untuk relaksasi dan aktivasi bagian serta fungsi tertentu dari otak manusia. Aspek lain dalam modulasi dan optimasi fungsi otak juga merambah dimensi kognitif yang parameter atau indikator keberhasilannya dapat terlihat dari tercapainya peningkatan prestasi akademik. Muncul dan berkembang metoda Super Brain, Memory Boosting, pelatihan otak kanan, dan yang terakhir booming adalah aktivasi otak tengah. Sebelum kita menganalisisnya lebih jauh, tak kalah trendinya adalah uji sidik jari yang dianggap secara fenotip merepresentasikan aspek genotip atau genetik seseorang. Maka sebuah lembaga bimbingan belajar dan sebuah merek susu terkemuka mengadopsinya sebagai sebuah metoda penapisan instan untuk mengetahui bakat dan potensi alamiah seseorang, khususnya dalam bidang-bidang akademik. Tak kurang pula para profesional di bidang psikologi terlibat secara aktif dan seolah menjadi “brand ambassador” bagi proses bisnis waralaba berbagai metoda tersebut. Sebenarnya semua klaim yang diajukan setelah mendapat validasi ilmiah melalui serangkaian proses riset multi senter itu selalu memiliki sisi kebenaran. Sidik jari misalnya, tentulah berkorelasi dengan karakteristik genetik yang diwakili oleh DNA. Tetapi proses identifikasi dan aktivasi yang biasanya berlangsung cepat dan instan memang secara neurosains agak sulit dibuktikan dapat membangun struktur fungsional baru yang bersifat persisten atau mampu menetap dalam kurun waktu tertentu. Dan masih layak pula untuk dipertanyakan hubungan-hubungan korelasional antara karakter yang bersifat fisik atau fenotipik dengan karakter psikologis yang berada dalam dimensi mental.
Sebagai pembanding yang obyektif cermatilah proses sholat yang bersifat repetitif dan frekuensinya dipertahankan secara konstan. Perubahan perilaku yang diharapkan muncul rupanya memiliki prasyarat konsistensi dan “recharging” dalam jarak waktu tertentu. Maka konsep ibadah yang termaktub dalam rukun Islam adalah tesis yang faktual tentang perlunya sikap istiqomah dan ketekunan serta loyalitas tertinggi dalam menegakkan integritas vertikal. Loyalitas Tauhid. Perubahan mendasar di ranah hayati terutama yang terkait dengan DNA sekurangnya memiliki sekian lapis prasyarat sebelum diamini dan diimani sebagai jalan yang wajib ditempuh serta syariat yang wajib dilaksanakan. Ada konsep stimulus lingkungan, ada konsep keseimbangan dan keterkaitan sistemik, ada konsep komunikasi saling berbagi manfaat, ada konsep seleksi dan filterisasi serta verifikasi otentisitas melalui serangkaian peran faktor transduksi, molekul promoter, penyempurnaan pesan, dan pemberian aksesoris fungsional pada molekul pra-protein. Maka DNA dan otak memerlukan sebuah sistem yang komprehensif untuk menjamin terjadinya suatu perubahan yang bersifat konstruktif. Jika kita kembali pada konsep multipotensialitas dari setiap sel punca atau sel-sel awal manusia, tahapan-tahapan biologis yang dilalui selama proses tumbuh kembang adalah mekanisme spesialisasi yang bertujuan untuk mengoptimalkan  setiap satuan fungsional tubuh yang disebut organ dan sistem organ. Perjalanan ini dimulai dari proses konsepsi atau peleburan antara sel nutfah ayah ke dalam sel telur Ibu. Bersatunya material genetik ini kemudian diikuti dengan pembelahan, pengaturan peran diri (diferensiasi), pematangan (maturasi), dan pembelahan sel untuk membentuk jaringan dan organ yang sangat spesifik. Beberapa gen diduga terlibat dalam proses pemanduan sel-sel bergerak dan tumbuh ke arah yang benar. Mereka bekerja berdasar hukum-hukum biologis yang seolah tak kasat mata. Hukum itu terbangun berdasar akumulasi proses interaksi, saling memahami, dan saling berbagi di antara sel-sel janin yang tengah bertumbuh. Maka stimulasi yang tepat, sentuhan, frekuensi kata-kata yang diucapkan, spektrum warna-warna yang dipaparkan, serta kondisi-kondisi psikologis yang diciptakan adalah prosedur aktivasi dari sekian banyak sistem faali tubuh manusia. Maka pada masa-masa awal kelahiran kita ke muka dunia, kita sesungguhnya belumlah mampu merangkai tanda ataupun membedakan bentuk dan warna. Kita dikaruniai suatu kondisi istimewa yang disebut sinestesia. Yaitu suatu kemampuan untuk memanfaatkan seluruh potensi inderawi kita secara umum. Telinga dapat melihat, mata dapat mendengar, kulit dapat mencium, dan beraneka fungsi indera lainnya yang saling bertukar alat pengelola. Kini fungsi semacam itu kembali diperbincangkan orang. Konsepnya diperkenalkan sebagai metoda aktivasi otak tengah. Pada hakikatnya metoda tersebut sebenarnya adalah sebuah program re-install yang bertujuan untuk mengembalikan kembali kemampuan masa awal kehidupan. Dengan metoda dan setting yang sedikit berbeda, seorang pengawal Dalai Lama, pemimpin spiritual Tibet dalam pelarian, pernah membukukan kisah hidupnya dan buku itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Mata Ketiga”. Pengawal Dalai Lama itu bernama Tuesday Lobshang Rampha. Dalam bukunya ia berkisah bahwa setelah melalui serangkaian proses seleksi dan pengamatan yang cermat dari para rahib senior, ia terpilih untuk menjadi salah satu pengawal Dalai Lama. Prosesi tahap berikut yang harus dilakukan bukanlah sekedar memperdalam ilmu agama ataupun proses meditasi, melainkan ia juga diharuskan menjalani sebuah ritual yang cukup mendebarkan. Di kepalanya ditancapkan sebuah paku baja panjang tepat di antara kedua alisnya. Panjang paku baja itu mungkin berkisar sekitar 12 cm. Setelah paku tertancap dengan sempurna, ia harus mendekam di dalam sebuah kamar gelap (sama sekali tanpa cahaya) selama kurang lebih 3 minggu. Usai menjalani prosesi yang tentu cukup menyakitkan itu paku dikeluarkan dan ia diminta untk beraktivitas sebagaimana biasa. Tetapi Tuesday kemudian merasakan hal-hal aneh yang tak mampu dicerna pikirannya. Ia seolah-olah dapat membaca pikiran orang-orang di sekitarnya. Bahkan ia dapat membedakan siapa saja yang berniat buruk dan siapa yang berniat baik. Demikianlah kemudian kemampuan Tuesday ini menjadi semacam mekanisme seleksi terhadap tamu atau orang-orang yang berinteraksi dengan Dalai Lama. Tak kurang beberapa kali Dalai Lama terselamatkan karena Tuesday mampu mendeteksi niat buruk dari beberapa orang yang sengaja datang bertamu. Metoda seperti yang dilakukan terhadap Tuesday ini ternyata dikenal sebagai aktivasi mata ketiga.  

0 komentar:

Post a Comment